Pendidikan dasar adalah wajib dan terbuka bagi semua anak-anak.Konvensi Hak-hak Anak PBB, 20 November 1989Namanya Lintang, murid kelas enam sekolah dasar. Ayah ada, ibu tiada. Anak kecil berkulit hitam yang telah piatu ini tak punya seragam sekolah yang layak, tak memiliki cukup buku pelajaran dan bahkan pergi ke sekolahnya dengan berkaki ayam. Tapi, Lintang tetap sangat bersemangat untuk bersekolah, tersebab ia punya cita-cita yang tinggi; tak ingin jadi kuli. Sama sekali ia tak peduli dengan kemiskinan yang mendera diri dan keluarganya.
Lintang memang seorang anak dari keluarga miskin. Ayahnya, hanya seorang nelayan, yang menggantungkan hidup dari lautan luas dan tak ada pekerjaan lain. Bila laut memberikan ikan-ikannya, maka Lintang, ayah dan tiga adik-adiknya bisa makan, bisa hidup. Tapi sebaliknya, bila laut tak memberikan rezeki apapun kepada sang ayah, maka Lintang pun hanya bisa menghibur adik-adiknya agar bersabar dan banyak berdoa untuk ayah mereka.
Meski hanya anak seorang nelayan miskin, Lintang diberikan Allah SWT anugerah otak yang topcer. Pada mata pelajaran berhitung misalnya, Lintang mampu menambah, mengali, membagi atau mengurangkan angka-angka, di luar kepalanya dan dalam waktu yang sangat cepat pula. Ketika cerdas-cermat antar-SD se-kecamatan, Lintang menjadikan sekolahnya, SD Muhammadiyah menjadi Juara 1, karena soal terakhir tentang berhitung dijawabnya dengan cepat dan benar.
Meraih prestasi Juara 1 Cerdas Cermat se-Kecamatan, membuat Lintang riang bukan kepalang. Ia pun ingin memperlihatkan piagam penghargaan yang diraihnya itu kepada ayahnya tercinta secepat-cepatnya. Dengan amat kencang, sepeda dikayuhnya saat pulang menuju rumah.
Tapi apalah daya, ketika sampai di rumah, hanya adik-adiknya yang menunggu. Sementara sang ayah, belum pulang melaut. Lintang pun menunggu, menunggu, di depan gubuknya yang reot. Sehari..., dua hari..., sampai lima hari, ayahnya tak juga pulang melaut. Saat memandang ke langit yang gelap, air mata Lintang meleleh. Ia sadar benar, ayahnya tercinta, tak akan pernah kembali lagi ke rumah. Ayahnya telah tiada karena laut telah menelannya.
Sepucuk surat pun, kemudian, dilayangkan Lintang kepada gurunya, Muslimah dan teman-temannya di SD Muhammadiyah. Isi suratnya singkat, ‘’Ayahku telah meninggal dan aku berhenti sekolah.’’
Begitulah akhir kisah Lintang. Yatim-piatu berotak topcer ini, yang memiliki semangat sekolah sungguh-sungguh luar biasa, berprestasi hebat dan bercita-cita tinggi, akhirnya memilih menyerah. Hidup yatim-piatu, kemiskinan yang mendera dan kewajibannya menghidupi adik-adiknya, memaksa Lintang harus meninggalkan mimpi-mimpinya dan mengambil keputusan pahit: putus sekolah!
Kisah Lintang yang malang itu, hanyalah penggalan film Laskar Pelangi, yang belakangan ini sedang ramai ditonton masyarakat Kota Pekanbaru. Meski hanya sebuah film, namun keadaan serupa, di alam nyata di Indonesia, termasuk di Riau, masih banyak terjadi.
”Universal Education’’
Hari ini, hampir dua dasawarsa yang lalu, tepatnya 20 November 1989, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati Konvensi Internasional Hak-Hak Anak. Salah satu pasal dalam konvensi itu, yakni pasal 28, menegaskan bahwa ‘’Pendidikan dasar adalah wajib dan terbuka bagi semua anak-anak.’’ Pasal ini merupakan tindak lanjut dari pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang menyatakan ‘’Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus cuma-cuma, paling tidak pada tahap-tahap awal dan dasar...’’
Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi dan tergabung dalam PBB menyatakan sepakat dengan ketentuan yang menegaskan ‘’Anak-anak wajib bersekolah’’ itu. Bahkan sejak 1984, Indonesia telah menggulirkan Program Wajib Belajar (Wajar, compulsory education), dari enam tahun, kemudian sembilan tahun untuk anak-anak di negeri ini. Program Wajar ini adalah program yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anak usia sekolah untuk menikmati pendidikan tanpa beban biaya apapun.
Pada beberapa daerah ‘surplus’ APBD, terutama kabupaten/kota yang kaya SDA di daerahnya, seperti Kabupaten Bengkalis, Program Wajar itu bahkan sudah sampai 12 tahun. Di negeri Terubuk itu, Wajar 12 Tahun telah diresmikan Bupati Bengkalis H Syamsurizal dengan 12 kali pemukulan gong pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional 2005 lalu.
Karena Program Wajar berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah, maka dengan Wajar 12 Tahun itu, seluruh anak-anak yang berusia sampai 18 tahun di Kabupaten Bengkalis, diwajibkan bersekolah sampai tamat SMA. Bilamana ada yang tidak mampu membiayai seperti kisah Lintang yang malang dalam film Laskar Pelangi, maka Pemkab Bengkalis yang mengambil-alih tanggungjawab membiayainya.
Tentu saja, bukan hanya Kabupaten Bengkalis di Indonesia yang kini sudah menerapkan Program Wajar 12 Tahun itu. Sejumlah daerah, sebut saja Kabupaten Jembrana di Provinsi Bali, Kabupaten Kediri di Jawa Timur, Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta di DI Yogyakarta, Kota Samarinda di Kalimantan Timur, Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah, juga telah menerapkan Wajar 12 Tahun itu.
Kota Bantul di DI Jogjakarta adalah salah satu daerah yang patut ditiru karena kepeduliannya yang luar biasa terhadap pendidikan anak-anak di daerahnya. Sebelum menerapkan Wajar 12 Tahun pada 2005 lalu, Pemkab Bantul melakukan penelitian terhadap anak-anak yang lulus SMP di daerahnya, kemudian dibandingkan yang mendaftar di SMA-sederajat. Ternyata, dari 11.000 lebih lulusan SMP, hanya 9.500 kurang yang mendaftar di SMA. Selebihnya tidak bisa mendaftar atau putus sekolah dengan alasan terbesar tidak mempunyai biaya.
Berlatar belakang fakta inilah, kemudian Pemkab Bantul menerapkan Wajar 12 Tahun. Sejumlah program pun digulirkan untuk menyukseskan Wajar 12 Tahun itu, seperti program retrieval, beasiswa, community college, Paket C terhadap yang putus sekolah dan lain-lain.
Tentu saja kita bangga dan memberikan dua jempol untuk daerah-daerah yang concern dan peduli dengan pendidikan anak-anak, terutama pada daerah-daerah yang memberlakukan Wajar 12 Tahun, sekaligus menerapkan universal education (pendidikan dapat dinikmati semua anak) di daerahnya, termasuk untuk anak-anak dari keluarga miskin.
Pada daerah-daerah concern seperti itu—yang telah menerapkan compulsory education dan universal education sekaligus— pemerintahnya tentu telah membentang selangit harapan; Takkan ada anak-anak di negeri ini yang bernasib seperti Lintang si anak malang!
Zulmansyah,
wartawan, Ketua Pokja Sosialisasi dan Advokasi KPAID Riau.